Kisah Inspiratif Sahabat Nabi Tentang Kebaikan – Sya’ban r.a

Sya’ban r.a. namanya. Sahabat Rasulullah yang amalnya begitu cemerlang di hadapan Allah Swt. Karena tiga hal,Sya’ban ra. menuturkan di akhir hidupnya untuk totalitas beramal. Pertama, mengapa tidak lebih jauh. Kedua, mengapa tidak yang baru. Ketiga, mengapa tidak semuanya. Pesan tersebut disampaikan kepada istrinya kala itu.

Dikisahkan seorang sahabat Rasulullah saw., Sya’ban ra. yang memiliki kebiasaan unik. Dia datang ke masjid sebelum waktu salat berjemaah. Ia selalu mengambil posisi di pojok masjid pada setiap salat berjemaah dan iktikaf. Alasannya, ia tidak ingin mengganggu atau menghalangi orang lain yang akan melakukan ibadah di masjid. Kebiasaan ini sudah dipahami oleh semua orang, bahkan Rasulullah sendiri. Pada suatu pagi, saat salat Subuh
berjemaah akan dimulai, Rasulullah saw. merasa heran karena tidak mendapati
Sya’ban ra. pada posisi seperti biasanya. Rasul pun bertanya kepada jemaah yang
hadir, apakah ada yang melihat Sya’ban? Tapi, tidak ada seorang pun yang
melihat Sya’ban ra. Salat Subuh pun sengaja ditunda sejenak untuk menunggu kehadiran Sya’ban. Namun, yang ditunggu belum dating juga. Karena khawatir salat Subuh kesiangan, Rasulullah pun memutuskan untuk segera melaksanakan salat Subuh berjemaah. Hingga salat Subuh selesai pun Sya’ban belum datang juga.

Selesai salat Subuh, Rasul pun bertanya lagi, “Apakah ada yang mengetahui kabar Sya’ban?” Namun tidak ada seorang pun yang menjawab. Rasul pun bertanya lagi, “Apa ada yang mengetahui dimana rumah Sya’ban?” Seorang sahabat mengangkat tangan danmengatakan bahwa dia tahu persis di mana rumah Sya’ban. Rasulullah sangat khawatir terjadi sesuatu terhadap sahabatnya tersebut, sehingga beliau meminta diantarkan ke rumah Sya’ban. Perjalanan dari masjid ke rumah Sya’ban cukup jauh dan memakan waktu lama terlebih mereka menempuh dengan berjalan kaki. Akhirnya, Rasulullah dan para sahabat sampai di rumah Sya’ban pada waktu salat Duha (kira-kira 3 jam perjalanan). Sampai di depan rumah Sya’ban, beliau mengucapkan salam dan keluarlah wanita sambil membalas salam.

“Benarkah ini rumah Sya’ban?” tanya Rasulullah. “Ya benar, ini rumah Sya’ban. Saya istrinya,” jawab wanita tersebut. “Bolehkah kami menemui Sya’ban
ra, yang tidak hadir salat Subuh di masjid pagi ini?” ucap Rasul. Dengan berlinangan air mata, istri Sya’ban ra. menjawab, “Beliau telah meninggal tadi pagi.” “Innaalillaahi wainnaailaihiraji’uun,” jawab semuanya. Masyallah, konsisten salat Subuh berjama’ah tanpa absen. Hanya sekali Sya’ban tidak ikut berjemaah bersama
Rasulullah, dan penyebabnya adalah karena ajal menjemputnya. Beberapa saat kemudian, istri Sya’ban ra. bertanya, “Ya Rasulullah, ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua. Menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing-masing teriakan disertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya” “Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasulullah.  “Di masing-masing teriakannya, dia berucap kalimat ‘Aduh, kenapa tidak lebih jauh, aduh, kenapa tidak yang baru, aduh, kenapa tidak semuanya’,” jawab istri Sya’ban.

“Saat Sya’ban r.a. dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah Swt. Bukan hanya itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah Swt. Apa yang dilihat oleh Sya’ban ra. (dan orang yang sakaratul maut) tidak bisa disaksikan yang lain. Dalam padangannya yang tajam itu, Sya’ban r.a. melihat suatu adegan di mana kesehariannya dia pergi-pulang ke masjid untuk salat berjemaah lima waktu. Perjalanan sekitar 3 jam jalan kaki,tentu bukan jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban r.a. diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,”ujar Rasulullah. Dia melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjarannya. Saat dia melihat itulah, dia berucap “Aduh, kenapa tidak lebih jauh?”. Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban. Mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih indah.Ternyata oleh Allah Swt., amal
unggulan Sya’ban dengan menempuh jarak yang begitu jauh dari rumahnya dicatat
sebagai amal cemerlang, sempurna di mata Allah.

Inilah mengapa Sya’ban menuturkan kepada istrinya saat terakhir sebelum wafat, kenapa tidak lebih jauh perjalanan yang kutempuh menuju masjid untuk salat subuh berjemaah apabila ini dicatat sebagai amal terbaik, amal cemerlang. Dalam penggalan kalimat berikutnya, Sya’ban r.a. melihat saat ia akan berangkat salat berjemaah di musim dingin. Saat ia membuka pintu, berembuslah angin dingin yang menusuk tulang. Dia masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Dia memakai dua baju, Sya’ban memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar. Dia berpikir jika kena debu tentu yang kena hanyalah baju yang luar dan sampai di masjid dia bisa membuka baju luar tersebut dan salat dengan baju yang lebih bagus (baju di dalam). Ketika dalam perjalanan menuju masjid, dia menemukan seseorang yang terbaring kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Sya’ban pun iba dan segera membuka kan baju yang paling luar (baju butut) lalu dipakaikan kepada orang tersebut, kemudian dia memapahnya ke masjid agar dapat melakukan salat Subuh bersama-sama. Orang itu pun selamat dari mati
kedinginan, bahkan sempat melakukan salat Subuh berjemaah. Sya’ban r.a. pun
kemudian melihat indahnya surga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut.

Kemudian, dia berteriak lagi “Aduh, kenapa tidak yang baru?”. Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban r.a. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu dia akan mendapatkan yang lebih besar jika dia memberikan pakaian yang baru. Amal kebaikan kedua ini pun ternyata juga dicatat oleh Allah Swt. sebagai amal terbaik Sya’ban. Sya’ban bersedih dan berkata, “Kenapa tidak yang baru yang bisa kuberikan?” ucapnya. Berikutnya, Sya’ban r.a. melihat lagi suatu adegan. Saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke dalam segelas susu (bagi yang pernah ke Tanah Suci tentu mengetahui ukuran roti Arab sekitar tiga kali ukuran rata-rata roti Indonesia). Ketika baru saja ingin memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal itu, Sya’ban r.a. merasa iba. Ia kemudian membagi dua roti tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang sama rata, kemudan mereka makan bersama-sama. Allah Swt. kemudian memperlihatkan Sya’ban r.a. dengan surga yang indah. Ketika melihat itu pun Sya’ban
r.a. teriak lagi “Aduh, kenapa tidak semuanya!” Sya’ban ra. kembali menyesal.
Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis  tersebut, pasti dia akan mendapat surga yang lebih indah. Nah, lagi-lagi Allah Swt.
mengapresiasi  apa yang sudah dilakukan Sya’ban sebagai amal cemerlang. Lalu, Sya’ban menuturkan mengapa tidak semuanya saja kuberikan makanan itu.

Subhanallah, sahabat Sya’ban begitu dicintai Allah Swt. lewat amal-amal cemerlangnya. Amal unggulan yang disuguhkan kepada Allah Swt. tanpa pamrih. Hanya untuk meraih rida-Nya. Amal totalitas tanpa batas, untuk Allah yang Maha pantas dimuliakan. Kita sebagai hamba-Nya sudahkah punya amal unggulan yang cemerlang di hadapan Allah Swt. Amal cemerlang yang kita hadiahkan untuk Allah Swt. agar kita kelak pantas dipanggil menjadi golongan penduduk surgaNya. Sesungguhnya pada suatu saat nanti, kita semua akan mati, akan menyesal dan tentu dengan kadar yang berbeda. Bahkan, ada yang meminta untuk ditunda matinya karena pada saat itu barulah terlihat dengan jelas konsekuensi dari semua perbuatan di dunia. Namun kematian akan datang pada waktunya, tidak dapat dimajukan dan tidak dapat diakhirkan. 

Sc : Fadhilah Uli Nuha, S.E.

Referensi :

Kisah Sahabat Rasulullah dengan Amal Kebaikan yang Istimewa