Bukan Untuk Uang, Ini Pengabdian dan Perjuangan

Perkenalkan, namaku Kukuh Nugroho. Seorang guru madrasah yang sampai hari ini sudah mengabdi di MA Al-Islam Jamsaren Surakarta selama enam belas tahun. Sebuah madrasah yang berada di komplek Pondok Pesantren Jamsaren, Kota Solo.

Sejak kecil aku sudah tertarik dengan profesi guru, tepatnya sejak aku duduk di bangku SD kelas 1. Waktu itu, aku tinggal dan diasuh oleh kakek yang juga seorang guru di sebuah SD Negeri. Namanya mbah Wandi, yang mengajariku banyak hal positif tentang nilai-nilai kehidupan.

Beberapa pendidikan dari beliau yang masih aku ingat sampai sekarang ialah taat beribadah. Beliau selalu mengingatkan aku untuk disiplin mengerjakan shalat lima waktu, walaupun beliau adalah seorang Nasrani. “Le, wis adzan ndang sholat” begitu kira-kira pesan beliau ketika suara adzan sudah berkumandang dari toa masjid disekitar rumah.

Setiap hari, sepulang sekolah, kakek tidak akan mengijinkan aku masuk ke rumah sebelum aku mengerjakan semua PR hari itu. Di teras rumah ada sebuah meja bundar dan kursi kayu, tempat aku mengerjakan tugas-tugas sekolah. Setelah semua tugas selesai aku kerjakan, dan kakek telah mengeceknya, aku baru diijinkan masuk rumah untuk ganti seragam dan makan siang. Masa-masa itu sepertinya akan tetap aku ingat walau sudah tiga puluh dua tahun berlalu.

Pengalamanku mengajar dimulai ketika aku lulus dari Pondok Gontor Ponorogo pada tahun 2004, dan mendapatkan tugas dari Pondok untuk mengabdi dan mengajar di Pondok Al-Kautsar di Desa Aiknyambuk, Aikmel, Lombok Timur, NTB. Pondok pesantren ini terletak di lerang Gunung Rinjani.

Waktu itu, fasilitas di pondok masih sangat minim. Belum punya ruang kelas, sehingga kegiatan belajar mengajar diadakan di pojok-pojok masjid, di gubuk-gubuk semi-permanen dan di depan rumah kyai. Listrik pun belum seratus persen masuk ke pondok. Namun aku lihat semangat santriwan santriwati yang begitu membara untuk terus menimba ilmu di pesantren.

Belum genap empat bulan mengabdi di Lombok, aku dipindahtugaskan ke Lampung Sumatera Selatan. Ternyata Pondok Gontor sedang membangun Pondok cabang di sana, yang sekarang terkenal dengan Pondok Gontor 7 Lampung.

Setibanya di Lampung, ternyata bangunan belum ada sama sekali. Para pekerja sedang bekerja membersihkan lahan yang akan dibangun pondok. Aku Bersama Sembilan ustadz pengabdian yang lain ikut membantu semampu kami. Kami pun membangun mushola kecil untuk sholat dan mengajar TPA. Setelah enam bulan, beberapa bangunan pondok sudah jadi, seperti masjid, asrama santri, dan dapur umum.

Pondok Gontor 7 pun diresmikan dan mulai menerima pendaftaran santri baru. Kurang lebih ada dua ratus santri yang mendaftar. Belum sempat kami mengajar, ternyata masa pengabdian kami telah selesai. Akhirnya, kami pun berpamitan dan pulang ke kampung halaman masing-masing.

Tahun 2006 awal, aku pulang ke rumah. Dengan bekal fotocopy ijazah Gontor, saya mencoba melamar di beberapa sekolah di Sukoharjo dan Solo. Seingatku ada enam sekolah yang aku titipi surat lamaran kerja. Setelah hampir seminggu menunggu, akhirnya aku diterima untuk menjadi pengurus dan ustadz di Pondok Pesantren Jamasaren. Walau waktu itu, aku hanya mendapatkan gaji 250 ribu tiap bulan, aku sangat bersyukur.

Pada tahun berikutnya, Ust Mufti Addin, selaku pimpinan pondok menawariku untuk mengajar di MA Al-Islam Jamsaren sebagai guru Bahasa Arab. Akupun langsung meng’iya’kan tawaran beliau.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, dan hingga saat ini aku masih mengabdi di madrasah ini, walaupun perjalanan yang aku tempuh dari rumah sampai madrasah lumayan jauh, kurang lebih 25 km.

Sebagai seorang guru yang sudah mengajar  puluhan tahun, tentu banyak hal positif dan negatif yang pernah aku alami. Menghadapi kenakalan beberapa siswa, melihat oknum rekan guru yang kurang disiplin dalam bekerja, hingga kebijakan pimpiman yang terkadang tidak bijak.

Namun, tentu lebih banyak hal-hal baik yng aku dapatkan di madrasah ini. Bisa Membimbing dan mendampingi murid-murid yang sedang bertumbuh dan mengembangkan potensi mereka, merupakan nikmat yang luar biasa. Bersama guru-guru yang masih berkomitmen untuk mendidik, bukan hanya transfer ilmu, membuat semangatku semakin membara untuk tetap mengabdi di madrasah ini.

Bagiku, mengajar bukan tentang uang dan penghasilan. Ini adalah perjuangan membangun masa depan. Dari kerepotan di dalam kelas dan celoteh dari murid aku belajar tentang kesabaran tanpa batas. Dari keramahan orang tua dan terkadang kritik saran dari mereka, membuatku semakin paham betapa berharganya pendidikan bagi putra-putrinya. Maka, aku akan tetap di madrasah ini, sampai Allah ta’ala memanggilku dan berkata “Hai hamba-Ku, pulanglah..! tugasmu di dunia sudah selesai.”

Tulisan ini telah dimuat di Buku “Bersama Meraih Mimpi”( ISBN: 978-623-8270-57-6 )

Pengirim : Kukuh Nugroho, S.Pd.I. (MA Al Islam Jamsaren)